post-image

Retrospective: 1 Tahun Bekerja Sebagai Frontend Engineer

23 Oktober 2022

Random

Read in English
Share on Twitter

Table of contents

Disclaimer

Seperti biasa, ini berdasarkan pengalaman pribadi. Mungkin bagi sebagian orang bisa kurang relate dan belum tentu 100% valid, setidaknya ini bisa jadi sekedar referensi ya.

Introduction

Cerita dimulai ketika saya baru wisuda dari kampus says pada Juni 2020 lalu. Itu adalah moment yang cukup sulit karena Covid-19 baru merebak ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tidak hanya saya rupanya, teman-teman seangkatan saya pun menghadapi masalah yang serupa. Ya tepat, kesulitan mencari kerja setelah lulus. Saya pun mendapati banyak teman saya yang akhirnya terpaksa banting stir ke pekerjaan non-IT (tidak linear dengan jurusan kuliah) demi memenuhi kebutuhan hidup.

Setelah beberapa minggu, satu per satu teman-teman saya mulai mendapatkan pekerjaan fulltime pertama mereka. Tentunya ini membuat saya minder dan overthinking. Saya pun berupaya apply ke beberapa perusahaan, tetapi pandemi Covid-19 membuat banyak perusahaan memberlakukan "hiring freeze". Tapi syukurlah, pada September 2020, bersama dengan beberapa teman kuliah dan bahkan junior (beda satu tahun), kami bisa mendapatkan pekerjaan di sebuah software house di Gading Serpong. Kantornya hanya di ruko kecil yang terletak dekat Pasar Modern Gading Serpong, tetapi saat itu kami semua berpikir yang penting bekerja dulu agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Saat itu, saya sendiri bekerja sebagai frontend engineer, tetapi lebih sering berkecimpung dalam pengembangan hybrid mobile app menggunakan Ionic dan Angular. Aplikasi yang sempat saya kembangkan adalah KAI Access. Jujur, saya sebenarnya kurang suka dengan role saya saat itu. Saya prefer lebih fokus dalam bidang web development, tetapi apa daya situasi saat itu cukup berat dan saya juga masih fresh graduate, jadi masih berusaha optimist setidaknya ini bisa menjadi batu loncatan bagi saya.

Ternyata, pada kenyataannya berat sekali. Pada Juni 2021, saya akhirnya burnout dengan pekerjaan saya bahkan sampai mempengaruhi fisik saya. Mulai dari GERD sampai insomnia beberapa minggu. Saya pun terpaksa WFH walaupun saat itu perusahaan memberlakukan WFO. Ya kurang lebih saya harus berjuang dengan pekerjaan yang tidak saya suka dan nikmati selama setahun lebih hingga akhirnya saya memutuskan untuk mencari opportunity baru.

Syukurlah sekitar bulan Juli 2021, ada seorang teman kuliah yang menawarkan project freelance dan akhirnya saya pun join dengan dia untuk membuat sebuah warehouse system dengan React di luar jam kerja. Ini adalah pertama kali saya menggunakan React untuk project real case. Sejak itulah saya mulai suka dengan ekosistem React dan terus belajar hingga sekarang.

Pada Agustus 2021, saya lanjut belajar lebih dalam React dan Next.js. Project pertama yang saya buat sendiri adalah web personal saya di yehezgun.com. Itu adalah project mainstream yang biasa dibuat banyak orang ketika baru belajar web. Tetapi, sejak saya mulai berani mempublikasikannya di Linkedin, beberapa recruiter mulai approach saya. Tentunya ini juga memotivasi saya untuk terus membuat mini-project dan artikel secara rutin (2x sebulan).

Syukurlah pada November 2021, seorang recruiter dari tempat saya bekerja sekarang approach saya via Linkedin. Saya ditawari role sebagai web frontend engineer. Tentunya, ini adalah role yang saya impikan dan saya pun mengikuti segala proses rekrutmen hingga saya pun akhirnya diterima dan sampai di titik ini.

Sungguh menyenangkan saya bisa bekerja sesuai dengan role yang saya impikan. Ditambah, kultur kerja di sini sangat suportif. Manager saya juga support apabila karyawannya punya kegiatan lain di luar pekerjaan utama misalnya seperti kegiatan komunitas atau semacam course instructor.

Selama setahunan ini (hampir 2 tahun🤣), saya belajar banyak dari yang tadinya berjuang mendapatkan pekerjaan fulltime pertama, burnout, hingga akhirnya bisa dapat job yang lebih baik. Seperti sesi retrospective, kurang lebih ada 4 point yang ingin saya bagikan kepada teman-teman pembaca.

Fundamental Itu Krusial

Saya sudah sempat menyinggung ini di artikel saya sebelumnya yang berjudul Why Fundamental Matters?. Ini membuat saya sadar bahwa seharusnya fundamental itu jangan dilewatkan sebelum melangkah lebih jauh.

Flashback saat saya baru lulus kuliah, saya langsung belajar frontend development secara "premature", langsung belajar tools dan framework seperti React, Angular, dan Vue tanpa belajar dasar Javascript terlebih dahulu. Ketika saya bekerja di kantor sebelumnya yang menggunakan Angular, saya pun sering bergumul dengan task yang ada karena saya sering harus develop kode sendiri tanpa mengandalkan third-party tools.

Masalah lain adalah ketika di kantor yang sekarang sejak Januari 2022. Saya belajar ulang syntax dasar Javascript karena di sini saya menggunakan React sebagai tech stack utama. Tidak hanya itu, saya pun kembali harus belajar dasar-dasar CSS karena menggunakan Tailwind CSS untuk styling.

Kalau saja saat itu fundamental skill sudah solid, mungkin bukan masalah besar ketika harus berganti-ganti tools atau framework. Jadi hanya perlu adaptasi syntax saja tanpa perlu belajar ulang semuanya.

Fokus ke Hal Esensial

Entah saya saja atau orang-orang lain juga merasakannya, semakin banyak pengalaman di dunia kerja, semakin sadar bahwa kita harus bijak dalam memilih tools atau framework yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.

Sebagai contoh, saya sudah belajar dan menggunakan Angular sejak kuliah hingga bekerja di tempat kerja saya yang sebelumnya. Awalnya, saya pikir Angular itu mudah karena fitur CLInya memudahkan ketika generate page atau component baru, dan imperative paradigm yang menurut saya cukup menarik saat itu.

Semua berubah ketika saya sudah bekerja sekitar 6 bulan dan menyadari bahwa komunitas Angular sudah cukup langka dan sulit sekali menemukan solusi yang relevant ketika troubleshooting. Karena itulah, tak jarang saya harus membuat beberapa logic dari 0😵. Tidak hanya itu, ketika saya mencari pekerjaan baru, kebanyakan perusahaan sudah menggunakan React sebagai tech stack utama.

Saya sempat menyinggung ini di artikel sebelumnya yang berjudul Frontend Fatigue. Seharusnya saya memilih tools atau framework yang sudah proven, punya komunitas yang luas, dan tentunya bisa menyelesaikan masalah yang ingin saya pecahkan.

Fokus pada problem-solving. Pilih tools yang cocok dengan kebutuhan kita yang membantu kita menyelesaikan masalahnya, bukan malah memperberat hidup😂.

Apa yang Dilakukan Sekarang Bisa Mempengaruhi Masa Depan

Saya ingat betul ketika saya memulai kebiasaan menulis artikel secara rutin sejak awal tahun 2021. Awalnya saya publikasi dalam bahasa Indonesia di diskusi.tech. Saya hanya sekedar berbagi pengalaman dan bagaimana saya mengatasi masalah yang saya hadapi dengan bahasa yang simple dan tidak terlalu berat.

Pada tengah tahun 2021, saya mulai membuat personal web saya sendiri, yehezgun. com. Saat itu, saya mulai membiasakan juga menulis dalam bahasa Inggris untuk melatih writing skill saya dan mempublikasikannya. Tidak hanya artikel, saya juga mulai rutin membuat mini-project dan mempublikasikannya di web saya.

Sekitar 6 bulan kemudian, akhirnya beberapa recruiter approach saya dan saya pun bisa mendapatkan pekerjaan saya yang sekarang karena kebiasaan saya ini. Saya sempat menyinggung ini di artikel saya sebelumnya yang berjudul How To Get Hired Without Applying.

Tidak hanya personal portfolio, saya juga join sebagai volunteer (cloud advisor) di Bangkit Academy. Tahun ini pun saya terlibat sebagai instructor dan capstone mentor. Jujur, saya tidak memiliki background sebagai cloud engineer, tetapi karena role saya sebagai instructor dan mentor, saya harus belajar secara mandiri agar saya bisa menyampaikan materi dengan baik dan dimengerti oleh cohort saya🤯.

Jangan salah, justru dengan pengalaman seperti ini saya belajar 2x. Saya belajar untuk diri saya sendiri dan belajar lagi untuk bagaimana menyampaikannya dengan bahasa yang mudah dimengerti kepada cohort saya saat itu. Ini berefek cukup besar bagi karir saya. Sekalipun saya bekerja sebagai frontend engineer, saya bisa tidak terlalu bergantung pada SRE (Site Reliability Engineer) di tempat saya untuk perihal deployment karena saya bisa melakukan itu secara mandiri😆 berkat pengalaman saya yang sudah sering berjumpa dengan istilah-istilah cloud engineering.

Perlu diingat bahwa dirimu yang sekarang sebenarnya telah dibangun oleh kebiasaan dan pengalamanmu di masa lalu juga.

Environment Juga Berperan Penting

Awalnya saya pikir bekerja di software house itu menyenangkan karena saya bisa belajar dari banyak project yang dibuat, tapi ternyata saya keliru. Project yang dibuat kebanyakan berasal dari request client dan "tidak bisa diinterupsi". Jika client bilang A, ya harus deliver A.

Masalah lainnya adalah code pattern. Karena projectnya banyak dan deadlinenya mepet, seringkali yang terpikir dalam kepala adalah yang penting bisa deliver itu tepat waktu ke client tanpa memikirkan kualitas kode yang dibuat. Tak jarang, kalau harus pindah project, cukup banyak waktu yang dihabiskan hanya untuk memahami ulang alur dan maksud kodingan dari existing project 🙃.

Ini akhirnya membuat saya berinisiatif untuk mencari pekerjaan baru yang tergolong sebagai in-house company yang memiliki dedicated product yang tentunya sudah memiliki development pattern yang sudah terbentuk. Akhirnya saya resign dari pekerjaan lama saya dan pindah ke kantor saya yang sekarang.

Bekerja di in-house company itu seperti menambahkan potongan puzzle ke board yang ada. Tentunya, karena itulah kodingan yang dibuat pun harus terstandarisasi dan memiliki pattern yang proper agar kualitas produk tetap terjaga. Tapi dalam kasus saya sih, saya masih bergulat dengan urusan rewrite landing page dari tech stack lama ke React (Next.js)🙃, tetapi justru karena itu saya bisa bekerja sambil belajar, terutama perihal Next.js sebagai tech stack favorite saya.

Yang paling menarik adalah ini adalah pertama kali saya memiliki senior yang bisa menjadi mentor dalam karir saya. Ketika saya stuck dalam mengerjakan task, saya bisa bertanya kepada mereka approach apa yang bisa digunakan untuk menyelesaikannya. Sekalipun bekerja secara remote, tetapi kami bisa tetap "klop" dalam berkomunikasi entah lewat Google Meet atau chat di Slack. Bagi saya, inilah kultur kerja ideal yang membantu saya untuk bertumbuh ke arah yang lebih baik.

Culture fit itu bukan mitos. Itu bisa membantu seseorang bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Closing

Ya, kurang lebih itulah cerita saya. Terlihat seperti sesi retrospective ya😆. Gak apa-apa, setidaknya semoga ada insight baru ya dari pengalaman saya ini sebagai frontend engineer (yang masih harus belajar banyak).

Back To Articles Page
Home
Projects
Articles
About Me